Selasa, 04 Desember 2007

Kekhalifahan

Kekhalifahan


Dalam Islam, tentang penguasa dikenal dengan sebutan khalifah, sulthan, malik, imam, amir atau emir atau penguasa yang berdasarkan istilah adat kebiasaan setempat.

Khalifah berperan sebagai kepala ummat baik urusan negara maupun urusan agama. mekanisme pengangkatan dilakukan baik dengan penunjukkan ataupun majelis Syura' yang merupakan majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi yakni ahli Ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat.

Sedangkan Khilafah adalah nama sebuah system pemerintahan yang begitu khas, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadist. Tidak seperti negara-negara yang ada didunia ini yang ideologinya lebih berlandaskan kepada ideologi-ideologi kapitalis, sosialis-komunis.

System yang menggunakan Islam sebagai idologinya ini sudah tidak ada lagi, system ini runtuh secara resmi tahun 1924. Jadi sampai saat ini,sebuah negeri yang menerapkan hukum-hukum Islam, ataupun negeri yang mayoritasnya beragama islam (seperti arab, irak, iran ataupun Indonesia), tidak bisa disebut sebagai Kekhalifahan. Karena negara-negara itu bukan saja susunan kepemerintahannya yang berbeda dengan kekhalifahan, tetapi juga tidak menggunakan Islam sebagai landasan ideologi mereka.

Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani (1907-1977) mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17).

Dari definisi ini, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia. Karena nas-nas syara’ (nushush syar’iyah) memang menunjukkan kewajiban umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi negara. Sebaliknya haram bagi mereka hidup dalam lebih dari satu negara.

Hukum mendirikan Kekholifahan (Khilafah)

Dari definisi di atas, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia. Kerana nas-nas syara’ (nushush syar’iyah) memang menunjukkan kewajipan umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi negara. Sebaliknya haram bagi mereka hidup dalam lebih dari satu negara.

Kewajiban tersebut didasarkan pada nas-nas al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Dalam al-Qur`an Allah SWT berfirman:

“Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…” (Qs. Ali-’Imraan [3]: 103).

Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin-Anshar dengan Yahudi: “Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad —Nabi antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib --serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka-- bahawa mereka adalah umat yang satu, di luar golongan orang lain...” (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119).

Nas-nas al-Qur`an dan as-Sunnah di atas menegaskan adanya kewajipan bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam (hablullah) –bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya yang direkayasa penjajah yang kafir— di bawah satu kepemimpinan, iaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’i bagi orang yang berupaya memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, yakni hukuman mati.

Selain al-Qur`an dan as-Sunnah, Ijma’ Sahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar ash-Shiddiq suatu ketika pernah berkata,”Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam).” Perkataan ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma’di kalangan mereka.

Bahkan sebahagian fuqoha menggunakan Qiyas (sumber hukum keempat) untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata,”Para ulama kami (mazhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!”

Artinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr. Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Julai 1998 M)

Jelaslah bahawa kesatuan umat di bawah satu Khilafah adalah satu kewajipan syar’i yang tak ada keraguan lagi padanya. Kerana itu, tidak mengherankan bila para imam-imam mazhab ¾Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad¾ bersepakat bulat bahawa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah saja, tidak boleh lebih:

“...para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- bersepakat pula bahawa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat mahupun tidak.” (Lihat Syaikh Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416) Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya.

Siapapun yang menelaah dalil-dalil syar’i dengan cermat dan ikhlas akan menyimpulkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Di antara argumentasi syar’i yang menunjukkan hal tersebut

Metode (cara) mendirikan Kekholifahan (Khilafah)

Dalam hal ini perlu ditegaskan 2 (dua) prinsip. Pertama, bahwa aktivitas muslim wajib bersandar kepada hukum syara’, bukan bersandar kepada selainnya, seperti kepentingan sesaat, hawa nafsu, atau akal. Kerana itu, perjuangan umat untuk mendirikan Khilafah harus berdasarkan kepada hukum-hukum syara’, tidak boleh didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang non-syara’.

Keterikatan kepada Syariat Islam adalah kewajiban tiap muslim. Kedua, bahwa umat Islam wajib mengambil suri teladan (uswatun hasanah) dari Nabi Muhammad SAW dalam masalah ini. Sebab, Rasulullah SAW telah memberi teladan bagaimana cara mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Kita wajib meneladani manhaj (metode) Rasulullah SAW ini.

Firman Allah SWT: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (Qs. Al-Ahzab [33]: 21).

“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, nescaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Qs. Ali-Imran [3]: 31).

“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7). Berdasarkan 2 (dua) prinsip itulah, maka langkah-langkah untuk mendirikan Khilafah dapat disarikan sebagai berikut:

1. Perjuangan harus dilakukan secara jama’i (berkelompok). Sebab mendirikan Khilafah adalah tugas yang berat yang tidak akan mampu dipikul oleh individu-individu. Kerana itu, umat wajib berkelompok (berjamaah) untuk mendirikan Khilafah, sebab tanpa berkelompok tak mungkin kewajiban mulia itu dapat terealisasi secara sempurna. Kaidah syara’ menetapkan :

Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib (“Jika sebuah kewajipan tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”) Selain itu, berdirinya jemaah yang menyeru kepada Islam dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar adalah wajib pula berdasarkan firman Allah SWT:

“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali-Imran [3]: 104).

2. Perjuangan harus berada di jalan politik (siyasah). Sebab mendirikan Khilafah adalah masalah politik sehingga metode yang relevan untuk mendirikannya tentunya adalah melalui pendekatan politik. Penggunaan jalan politik ini bukan bererti menghalalkan segala cara, sebagaimana praktik politik saat ini yang sangat kotor dan tuna susila. Akan tetapi maksudnya adalah, perjuangan yang dilakukan harus selalu mengacu pada aktivitas pemeliharaan urusan umat, sebab politik (siyasah) adalah pemeliharaan dan pengaturan segala urusan umat menurut hukum-hukum syara’.

Dengan demikian, penegakan Khilafah tidak ditempuh melalui jalan selain politik. Jadi, mendirikan Khilafah paling tepat dilakukan oleh sebuah kelompok politik. Tidak tepat bila mendirikan Khilafah ditempuh melalui jalan selain politik, misalnya jalan yang dilakukan kelompok yang mengadakan kegiatan sosial-kemasyarakatan (seperti membangun sekolah dan rumah sakit; membantu fakir miskin, anak-anak yatim atau orang-orang tua dan sebagainya), atau kelompok yang bergerak dalam peribadatan dan amalan-amalan sunnah, atau kelompok yang menerbitkan buku-buku keislaman, mentakhrij hadis-hadis Nabi SAW, dan sebagainya. Memang, semua itu adalah amal soleh, bukan amal salah. Namun tidak tepat kalau itu dimaksudkan sebagai langkah atau jalan menuju berdirinya Khilafah.

3. Perjuangan tidak menggunakan cara kekerasan (fisik), misalnya dengan membentuk misi-misi bersenjata untuk menyerang penguasa. Sebab, aktivitas Rasulullah SAW di Mekah terbatas hanya pada dakwah secara lisan dan tidak melakukan kegiatan apapun yang bersifat fisik sampai beliau Hijrah. Bahkan tatkala tokoh-tokoh Madinah menawarkan kepada beliau pada Bai’atul Aqabah II agar mereka diizinkan memerangi penduduk Mina dengan pedang, Rasulullah SAW menjawab “lam nu`mar bi dzalika ba’du” (“Kami belum diperintahkan (untuk melakukan yang demikian (perang)”).

Kekuatan fisik yang dimaksud dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan Jihad. Jihad tetap berlangsung terus hingga hari Kiamat. Apabila musuh-musuh kafir menyerang salah satu negeri Islam, maka wajib atas kaum muslimin yang menjadi penduduk negeri itu untuk menghadapinya.

4. Perjuangan harus menempuh tahap-tahap (marhalah) yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dengan mendalami sirah Rasulullah SAW di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan suatu Daulah Islam di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan jelas tujuan-tujuannya. Dari sirah Rasulullah SAW inilah kita mengambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini. Berdasarkan sirah Rasulullah SAW tersebut, kita dapati terdapat 3 (tiga) tahapan (marhalah) berikut :

Pertama: Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran Islam dalam rangka pembentukan kerangka tubuh jamaah/kelompok.

Kedua: Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah), yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan.

Ketiga: Tahapan Pengambilalihan Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengembang risalah Islam ke seluruh dunia.

Tahap pertama tersebut, serupa dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW pada tahap awal dakwah beliau yang berlangsung selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyampaikan kepada orang-orang (yang ada di Mekah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepadanya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi.

Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Quran, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahsia dan membina mereka secara rahsia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Mekah), yang pada akhirnya secara beransur-ansur mereka masuk ke dalam Islam

Adapun tahap kedua, dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya firman Allah SWT: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Qs. Al-Hijr [15]: 94).

Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerosakan dan kesalahannya. Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat al-Quran masih turun secara berangsur-angsur.

Ayat al-Quran tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat al-Quran turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, menggelarnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.

Sedang tahap ketiga adalah pengambilalihan kekuasaan, ditempuh dengan cara melakukan thalabun nusrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah Rasulullah SAW, beliau mendapatkan nusrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang dengan peristiwa Baiat Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.

Inilah langkah-langkah yang harus ditempuh umat untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah.

[sunting] Struktur pemerintahan Negara Khilafah

Struktur pemerintahan Islam terdiri daripada 8 perangkat dan berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah saw:

1. Khalifah - Hanya Khalifah yang mempunyai kewenangan membuat UU sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang ditabbaninya (adopsi); Khalifah merupakan penanggung jawab kebijakan politik dalam dan luar negeri; panglima tertinggi angkatan bersenjata; mengumumkan perang atau damai; mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin, Wali, Qadi, amirul jihad; menolak atau menerima Duta Besar; memutuskan belanjawan negara.

2. Mu'awin Tafwidh - Merupakan pembantu Khalifah dibidang kekuasaan dan pemerintahan, mirip menteri tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin menjalankan semua kewenangan Khalifah dan Khalifah wajib mengawalnya.

3. Mu'awin Tanfidz - Pembantu Khalifah dibidang administrasi tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin Tanfidz membantu Khalifah dalam hal pelaksanaan, pemantauan dan penyampaian keputusan Khalifah. Dia merupakan perantara antara Khalifah dengan struktur di bawahnya.

4. Amirul Jihad - Amirul Jihad membawahi bidang peperangan, luar negeri, keamanan dalam negeri dan industri.

5. Wali - Wali merupakan penguasa suatu wilayah (gubernur), hanya saja di zaman Rasulullah saw. wali Syam meliputi daerah Lebanon, Syiria, Palestina dan Israel, yang mana sekarang ini terdiri dari beberapa negara. Wali memiliki kekuasaan pemerintahan, pembinaan dan penilaian dan pertimbangan aktivitas direktorat dan penduduk di wilayahnya. Wali tidak mempunyai kekuasaan dalam Angkatan Bersenjata, Keuangan dan pengadilan.

6. Qadi - Qadi merupakan badan peradilan, terdiri dari 2 badan; Qadi Qudat (Mahkamah Qudat) yang mengurus persengketaan antara rakyat dengan rakyat, perundangan, menjatuhkan hukuman, dan lain-lain serta Qadi Mazhalim (Mahkamah Madzhalim) yang mengurus persengketaan antara penguasa dan rakyat, memberhentikan semua pegawai negara termasuk Khalifah.

7. Jihaz Idari - Pegawai administrasi yang mengatur kemaslahatan masyarakat melalui Lembaga yang terdiri dari Direktorat, Biro, dan Seksi, dan Bagian. Memiliki Direktorat di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, industri, perdagangan, pertanian, dll). Mua’win Tanfidz memberikan pekerjaan kepada Jihaz Idari dan memantau pelaksanaannya.


8. Majlis Ummat - Majlis Ummat dipilih oleh rakyat, mereka cerminan wakil rakyat baik individu mahupun kelompok. Majlis memberikan peringatan dan koreksi kepada Khalifah serta menunjukkan kebencian kepada pembantu Khalifah jika terjadi penyelewengan. Majlis juga berhak membatasi calon Khalifah jika ada pergantian Khalifah dan mendiskusikan hukum-hukum yang akan diadopsi Khalifah, tetapi kekuasaan penetapan hukum tetap di tangan Khalifah.

Sejarah Perjalanan Kekhalifahan

Di dalam sejarah Islam, Khalifah yang diangkat berdasar majelis syura' hanyalah khalifah Abu Bakar dan Utsman bin Affan sedangkan Umar bin Khattab diangkat berdasarkan penunjukkan oleh khalifah sebelumnya (Abu Bakar) sedangkan Ali bin Abi Thalib diangkat karena keadaan darurat yang tidak boleh sampai terjadi kekosongan kepemimpinan. Ketiga khalifah yang disebutkan di awal berkedudukan di Madinah sedangkan Ali bun Abi Thalib berkedudukan di Kufah

Selanjutnya, ketika masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib terjadi perselisihan dengan Muawwiyah bin Abu Sufyan karena permasalahan penegakan hukum atas terbunuhnya Utsman bin Affan dimana Muawwiyah menghendaki adanya keputusan hukum sementara Ali menghendaki adanya kestabilan situasi masyarakat dan Negara. Perselisihan itu sampai menimbulkan peperangan Shiffin. Meskipun akhirnya secara de fakto Ali berkuasa di Irak dan Hejaz serta Muawwiyah berkuasa di Syam, Muawwiyah tetap mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah sehingga dia tidak mengangkat dirinya sebagai khalifah. Karena didalam Islam tidak dibenarkan adanya dua kekhalifahan. Ketika Ali bi Abi Thalib wafat, sebagian kaum muslimin mengangkan putranya Hasan bin Ali sebagai khalifah, namun untuk menjaga persatuan dan kebaikan kaum Muslimin, Hasan akhirnya menyerahkan khalifah kepada Muawwiyah.

Kekhalifahan Daulah

Menjelang wafatnya Muawwiyah bin Abu Sufyan, beliau memperhatikan keadaan kaum muslimin yang saat itu masih dalam keadaan ketidakstabilan dan melihat bahaya apabila putra putra para Sahabat Nabi terutama kalangan Quraisy terjadi perselisihan yang jauh dalam masalah perebutan kekhalifahan terlebih lebih berdasarkan Hadits yang Shahih Nabi Muhammad SAW bahwa : Khalifah itu berasal dari Quraisy' maka Muawwiyah mengangkat putranya Yazid bin Muawwiyah sebagai khalifah. Sejak itu muncullah pemerintahan kekhalifahan yang bersifat Daulah yang dikenal dengan Daulah Ummayyah yang berkedudukan di Damsyiq (Damaskus), karena berasal dari bani atau keturunan Ummayyah yang juga merupakan kerabat Nabi Muhammad SAW dari kalangan Quraisy. Pada masa ini dikenal dengan nama Masa Persatuan ketika diperintah oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan. Selanjutnya kekhalifahan jatuh ketangan bani Abbas yang juga masih dari kalangan Quraisy yang dikenal dengan nama Daulah Abbasiyyah yang berkedudukan di Baghdad. Sisa-sisa keturunan Ummayyah mendirikan Kekhalifahan Ummayyah di Cordova (Spanyol sekarang) yang dikenal sebagai Kekhalifahan Cordova. Namun karena ketentuan khalifah tidak boleh lebih dari satu, maka pemerintahan kekhalifahan Ummayyah menyerahkan jabatan khalifah kepada pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah. Setelah terjadi kekacauan terutama setelah serangan bangsa Mongol ke Baghdad, maka khalifah Abbasiyah waktu itu berada dibawah kekuasaan Dinasti Mamalik di Mesir. Ketika Sultan dari Usmaniyah Turki menyerang Mesir dan khalifah Abbasiyah waktu itu (Al Mutawakkil 'Alallah III) ditawan oleh Usmaniyah, maka Al Mutawakkil III menyerahkan kekhalifahannya kepada Sultan Salim I dari Usmaniyyah saat itu . Sehingga resmilah Daulah Usmaniyah menyandang gelar Khalifah meskipun bukan dari kalangan Quraisy sampai tahun 1922 M.


Berikut sebuah medali emas yang dipersembahkan oleh Khalifah Ustmani di Turki kepada utusan Sultan Thaha Syaifuddin yang datang meminta pertolongan Khalifah untuk melawan penjajahan Belanda di Jambi.

Aturan kekuasaan dalam Islam

Didalam Islam dikatakan bahwa Ulil Amri atau penguasa wajib ditaati sebagaimana dalam Al Qur'an Taatilah kamu kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri diantara kamu. namun demikian ketaatan kepada Ulil Amri tidak semutlak ketaatan kepada Allah dan Rasulnya dalam artian ketaatan itu berlaku bila penguasa tersebut taat kepada Allah dan tidak menyimpang dari hal hal yang digariskan Agama. Bila penguasa tersebut melakukan dosa tidak ada kewajiban untuk mengikutinya namun berkewajiban untuk mengingatkan penguasa tersebut dengan menjaga kehormatan dan kewibawaan penguasa untuk menghindari terjadinya fitnah atau gejolak serta dilarang untuk mengadakan pemberontakan. Demikianlah apa yang diajarkan oleh para Salaf, generasi awal Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Bai'at

Baiat (sumpah setia dan taat) dalam Islam setelah masa kenabian berlaku:

  • Kepada Khalifah atau Amirul Mukminin yang diangkat berdasarkan kesepakatan seluruh kaum muslimin serta Ahlul Ilmi wal Aqdi
  • Kepada penguasa muslim yang berkuasa karena kekuasaan dan kekuatannya, bila minta baiat maka berikanlah untuk menghindari fitnah dan gejolak di masyarakat

Tidak ada komentar: